Nasionalisme Yahudi
Tidak seorang
pun menyanggah kenyataan – kecuali kalau benar-benar tidak mengenal pola
berpikir kaum Yahudi (periksa ‘Protokol Zionisme’) – bahwa anasir (unsur –red.)
yang merusak, baik di bidang ekonomi mapun sosial di dunia sekrang ini, bukan
saja diawaki, tetapijuga didanai oleh dan untuk kepentingan kaum
Yahudi.
Kenyataan ini cuku lama dipendam saja oleh publik, disebabkan
oleh sanggahan yang keras dari kalangan kaum Yahudi, seperti dari the Jewish
Defamation League, serat kurangnya informasi tentang hal itu. Kini semua itu
dimana-mana telah menjadi kenyataan.
Beberapa waktu setelah Kongres
Zionisme Internasional ke-1 di Bazel itu, kecenderungan politik kaum Yahudi
bekerja ke dua arah, yang satu dilkuakn secara diam-diam ditujukan untuk
menghancurkan dan menguasai negara-negara non-Yahudi di seluruh dunia, yang lain
lagi untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Berbeda dengan proyek
yang pertama, proyek yang kedua dilakukan dengan meminta perhatian dan
melibatkan dukungan dari seluruh dunia. Untuk kepentingan itu kaum Zioni dengan
cerdik hanya meributkan soal Palestina, dan persoalan itu tidak ditengarai
sebagai rencana kolonisasi yang ambisius yang tidak biasa. Gagasan tentang
“Tanah Air” bagi orang Yahudi begitu crdiknya disemau, sehingga menjadi
tabir-asap yang efektif intik merampas tanah milik bangsa Arab-Palestina. Agenda
mengenai Palestina digunakan juga untuk menipu publik menutupi berbagi kegiatan
rahasia yan mereka jalankan.
Masyarakat Yahudi internasional, pemegang
termaju pemerintahan negara-negara di belakang layar dan penguasa keuangan
dunia, mereka bertemu dimana sajam kapan saja, baik di masa perang maupun damai,
dan bila ditanya meraka menjelaskan hanya memperbincangkan bagaimana cara dan
sarannya untuk mambuka tanah Palestina bagi orang Yahudi an mereka dengan cerdik
menghindar dari kecurigaan orang berkumpul-kumpul untuk membicarakan persoalan
lain.
Meskipun nasionalisme Yahudi itu ada, tetapi prwujudannya ke alam suatu negara
Yahudi di Palestina bukanlah merupakan proyek yang melibatkan segenap orang
Yahudi. Adalh kenyataan bahwa pada awalnya orang Yahudi tidak sepenuhnya sepalat
pindah ke Palestina. Kengganan itu bukan semata-mata karna tidak setuju dengan
gerakan Zionisme, medkipun ideologi Zionisme sebagai motif pendorong memang
menjadi penyebab exodusnya mereka dari negeri-negeri Kristen bila saaat untuk
itu benar-benar telah tiba.
Publik dunia telah lama mencurigai –
mula-mula hanyha oleh beberapa gelintir orang, kemudian mulai menarik perhatian
dinas-dinas intelejen pemerintahan, lalu kalangan para intelektualm akhirnya
masyarakat luas – bahwa kaum Yahudi itu adalah suatu masyarakat yang ternyata
berbeda dengan bangsa-bangsa yan lain di dunia, dan anehnya, mereka tidak dapat
menyembunyikan identitas mereka dengan cara papaun, bahwa mereka membentuk suatu
“negara” di dalam negara, bahwa meraka sangat sadar sebagai suatu bangsa, tapi
bukan itu saja, mereka sangat sadarperlunya bersatu membentuk pertahanan bersama
untuk mencapai tujuan bersama.
Program Pengusiran Penduduk Arab
Palestina
Penduduk Arab-Palestina merupakan mayoritas sampai
dengan terbentuknya Israel sebagai sebuah negara Yahudi pada tahu 1948. Negara
Israel yang dicita-citakan oleh Thedore Herzl hanya akan dapat terwujud dengan
cara menghapus hak-hak kaum mayoritas, atau membuat kaum Yahudi menjadi
mayoritas melalui imigrasi, atau mengurangi jumlah penduduk Arab di palestina
memlalui cara pembersihan etnik. Tidak ada cara lain, dan tidak mungkin
membentuk sebuah negara Yahudi, kecuai dengan cara di luar prosedur demokratik
tadi8.
Pengusiran penduduk Arab-Palestina merupakan keharusan yang
mengalir dari logika Zionisme sebagiaman dengan sangat jelas dikatakan Thedore
Herzl sejak 12 Juni 1895. Pada waktu itu ia baru merumuskan gagasannya tentang
Zionisme dan menuliskannya dalam buku hariannya, “Kami harus mencoba
mengeluarkan kaum tidak berduit (baca: Palestina) dari perbatasan dengan cara
menyediakan pekerjaan di negara-negara tetangga, dan bersamaan dengan itu
mencegah mereka memperoleh lapangan kerja di negeri kami. Kedua proses, baik
penghapusan kepemilikan dan pemindahan kaum miskin itu, harus dikerjakan dengan
kehati-hatian dan kewaspadaan”9. Pemikiran ini dibenarkan oleh sebagian bedar
pendukung Zionisme sejak awal, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa tema
tentang pengusiran secara konsisten terus menjadi pemikiran kaum Zionis10.
Jadi sejak awal impian kaum Zionis mendirikan negara Yahudi mengacu kepada dua
sasaran yang bersifat komplementer (saling melengkapi-red.) dan sekaligus
mutlak, yaitu:
1. mendapatkan sebuah tanah air.
2. menggantikan penduduk
mayoritas Arab-Palestina baik dengan cara tidak mengakui hak-hak mereka,
mengatasi jumlah mereka, atau mengusir mereka dengan cara apapun.
Meskipun
Theodore Herzls dan kaum Zionis lainnya menjanjikan bahwa orang Yahudi dan
Arab-Palestina akan hidup berdampingan secara damai dan bahagia, namun tidak ada
jalan lain yang terbuka untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina sebagaimana
yang didambakan oleh kaum Ziois kecuali dengan cara-cara tersebut di
atas.
Kaum pendahulu Zionis menempuh beberapa strategi untuk mencapai
tujuan mereka, :
1. Melalui imigrasi orang Yahudi; pada saat awal itu banyak
kaum Zionis dan para pendukungnya yang sungguh-sunguh percaya bahwa imigrasi
orang Yahudi dalam jumlah besar akan dapat dalam waktu singkat memecahkan
“masalah Palestina” dengan membangun masyarakat Yahudi sebagai mayoritas
2.
Yang lain meyakini, bilaman sejuamlah petani dan buruh-buruh Arab-Palestina
ditutup kesempatan kerjanya, maka hasilnya akan memaksa orang Arab-Palestina
bermigrasi meninggalkan Palestina.
3. Dalam kenyataannya, kedua rencana di
atas kurang begitu diketahui, karena rencana ini lebih banyak diperbindangkan di
koridor-koridokekuasaan di Berlin, London, dan Washington, dalam rangka
mendapatkan tajaan (‘sponsorship’) dunia internasional, sekaligus untuk
mendapatkan legitimasi terhadap klaim kaum Yahudi sebagi imbangan terhadap
hal-hak kaum mayoritas penduduk Arab-Palestina.
Kaum Zionis mengembangkan
strategi ini secara serentak. Ada yang berhasil dan ada pula yang yang kurang
berhasil. Namun pada akhrnya opsi yang terbuka tinggal pengusiran secara paksa
sebagai cara untuk mendirikan negara Yahudi yang mereka impikan.
Jadi sejak awal impian kaum Zionis mendirikan negara Yahudi mengacu kepada dua
sasaran yang bersifat komplementer (saling melengkapi-red.) dan sekaligus
mutlak, yaitu:
1. mendapatkan sebuah tanah air.
2. menggantikan penduduk
mayoritas Arab-Palestina baik dengan cara tidak mengakui hak-hak mereka,
mengatasi jumlah mereka, atau mengusir mereka dengan cara apapun.
Meskipun
Theodore Herzls dan kaum Zionis lainnya menjanjikan bahwa orang Yahudi dan
Arab-Palestina akan hidup berdampingan secara damai dan bahagia, namun tidak ada
jalan lain yang terbuka untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina sebagaimana
yang didambakan oleh kaum Ziois kecuali dengan cara-cara tersebut di
atas.
Kaum pendahulu Zionis menempuh beberapa strategi untuk mencapai
tujuan mereka, :
1. Melalui imigrasi orang Yahudi; pada saat awal itu banyak
kaum Zionis dan para pendukungnya yang sungguh-sunguh percaya bahwa imigrasi
orang Yahudi dalam jumlah besar akan dapat dalam waktu singkat memecahkan
“masalah Palestina” dengan membangun masyarakat Yahudi sebagai mayoritas
2.
Yang lain meyakini, bilaman sejuamlah petani dan buruh-buruh Arab-Palestina
ditutup kesempatan kerjanya, maka hasilnya akan memaksa orang Arab-Palestina
bermigrasi meninggalkan Palestina.
3. Dalam kenyataannya, kedua rencana di
atas kurang begitu diketahui, karena rencana ini lebih banyak diperbindangkan di
koridor-koridokekuasaan di Berlin, London, dan Washington, dalam rangka
mendapatkan tajaan (‘sponsorship’) dunia internasional, sekaligus untuk
mendapatkan legitimasi terhadap klaim kaum Yahudi sebagi imbangan terhadap
hal-hak kaum mayoritas penduduk Arab-Palestina.
Kaum Zionis mengembangkan
strategi ini secara serentak. Ada yang berhasil dan ada pula yang yang kurang
berhasil. Namun pada akhrnya opsi yang terbuka tinggal pengusiran secara paksa
sebagai cara untuk mendirikan negara Yahudi yang mereka impikan.
Jadi sejak awal impian kaum Zionis mendirikan negara Yahudi mengacu kepada dua
sasaran yang bersifat komplementer (saling melengkapi-red.) dan sekaligus
mutlak, yaitu:
1. mendapatkan sebuah tanah air.
2. menggantikan penduduk
mayoritas Arab-Palestina baik dengan cara tidak mengakui hak-hak mereka,
mengatasi jumlah mereka, atau mengusir mereka dengan cara apapun.
Meskipun
Theodore Herzls dan kaum Zionis lainnya menjanjikan bahwa orang Yahudi dan
Arab-Palestina akan hidup berdampingan secara damai dan bahagia, namun tidak ada
jalan lain yang terbuka untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina sebagaimana
yang didambakan oleh kaum Ziois kecuali dengan cara-cara tersebut di
atas.
Kaum pendahulu Zionis menempuh beberapa strategi untuk mencapai
tujuan mereka, :
1. Melalui imigrasi orang Yahudi; pada saat awal itu banyak
kaum Zionis dan para pendukungnya yang sungguh-sunguh percaya bahwa imigrasi
orang Yahudi dalam jumlah besar akan dapat dalam waktu singkat memecahkan
“masalah Palestina” dengan membangun masyarakat Yahudi sebagai mayoritas
2.
Yang lain meyakini, bilaman sejuamlah petani dan buruh-buruh Arab-Palestina
ditutup kesempatan kerjanya, maka hasilnya akan memaksa orang Arab-Palestina
bermigrasi meninggalkan Palestina.
3. Dalam kenyataannya, kedua rencana di
atas kurang begitu diketahui, karena rencana ini lebih banyak diperbindangkan di
koridor-koridokekuasaan di Berlin, London, dan Washington, dalam rangka
mendapatkan tajaan (‘sponsorship’) dunia internasional, sekaligus untuk
mendapatkan legitimasi terhadap klaim kaum Yahudi sebagi imbangan terhadap
hal-hak kaum mayoritas penduduk Arab-Palestina.
Kaum Zionis mengembangkan
strategi ini secara serentak. Ada yang berhasil dan ada pula yang yang kurang
berhasil. Namun pada akhrnya opsi yang terbuka tinggal pengusiran secara paksa
sebagai cara untuk mendirikan negara Yahudi yang mereka impikan.
Sementara itu berkembang strategi baru Zionisme, yaitu mendelegitimasi-kan
masyarakat Arab-palestina, sambil berusaha melegitimasi-kan kehadiran orang
Yahudi. Sejak awal Theodore Herzl sangat sadar bahwa komunitas Zionis
membutuhkan suatu major power sebagai penaja. Usaha pertamanya ditujukan kepada
Sultan Abdul Hamid II, suatu pilihan yang masuk akal, mengingat kesultanan
Usmaniyah memegang kuasa mutlak atas Palestina. Bahkan sebelum secara resmi
mendirikan Zionisme pada tahu 1897, Theodore Herzl pernah berkunjung ke Istambul
pada tahun 1896 untuk memohon hibah tanah di Palestina dari Sultan dengan
imbalan akan memberikan “bantuan keuangan untuk memulihkan kas kesultanan yang
sedang kosong melalui para finansier Yahudi”. Dan yang lebih penting lagi, ialah
usulnya yang ditulis sekambalinya dari kunjungan itu, memohon kepada sultan hak
kaum Yahudi untuk mendeportasikan penduduk aseli11.
Sultan sangat
tersinggung dan menolak permohonan itum dan mengirimkan pesan yang menasehati
Theodore Herzl. ‘Jangan lagi membicakan soal ini. Saya tidak dapat menyisihkan
sejengkal yanah pun, karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat.
Rakyat saya berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah
mereka. …Biarkanlah orang Yahudi menyimpan duit mereka yang berjuta-juta
banyaknya di peti mereka”12.
.............................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar