MUQODDIMAH
Bismillah was sholaatu was salaamu ‘alaa rasuulillah wa ba’du.
Segala puji hanya milik Allah dan shalawat serta salam
semoga tercurahkan kepada baginda nabi Muhammad saw.
Jika kita membaca kitab-kitab para ulama’ acapkali kita
mendapati dua kata yang tidak asing lagi ditelinga (asy’ariyah dan
maturidiyah), meskipun demikian sedikit sekali yang mengerti apa arti kedua
kata tersebut, bagaimana sejarahnya, apa saja pokok-pokok ajarannya dan
bagaimana perkembangannya hingga sekarang.
Disini kami hanya ingin menjabarkan sedikit pengetahuan kami
tentang apa itu asy’ariyah dan maturidiyah, pun jika masih terdapat begitu
banyak kekurangan dan kekeliruan mohon dimaklumi dan sudi kiranya untuk
menambahkan yang kurang karena kebodohan kami. Berikut uraian tentang kedua
golongan tersebut.
1)
Asy-‘ariyah
Perkembangan aliran-aliran dalam kehidupan beragama banyak
menimbulkan faham yang saling berlawanan satu sama lain, ada aliran yang sangat
meninggikan akal pikiran (golongan rasionalis) dan ada juga yang meninggikan
dalil/nas (golongan tekstualis). Dalam menyikapi hal tersebut maka lahirlah
aliran asy'ariyah yang mengambil jalan tengah yang menghubungkan antara
golongan rasionalis dan golongan texstualis.
Abu Hasan al asy'ari dilahirkan pada tahun 260H/874M di
basrah dan meninggal dunia di baghdad pada tahun 324H/936M. Ia berguru kepada
Abu Ishak Al- Marwazi, seorang fakih bermazhab Syafi’i di mesjid al-Manshur,
Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari al-Jubba’iseorang ketua mu’tazilah
al-Basrah, sehingga ia sangat menguasai berbagai metodenya yang menjadi
senjata baginya untuk membantah kelompok mu’tazilah.
Al-asy'ari mulanya berpaham mukthazilah namun akhirnya
keluar dan berpindah menjadi ahli sunnah karena beberapa sebab dan alasan.Ada
sumber yang mengatakan bahwa al-asy'ary telah bermimpi melihat dan bertemu nabi
dan beliau berkata kepadanya "Wahai Ali tolonglah madzah-madzah
yang mengambil riwayat dariku, karna itulah yang benar" kejadian
ini terjadi beberapa kali pertama pada 10 hari pertama ramadhan, 10hari yang
kedua,dan 10 hari yang ke tiga. Sehingga dalam mengambil keptusan keluar dari
mu’tazilah al-asy'ary menyendiri selama 15 hari. Setelah itu ia memberitahukan
taubatnya , hal ini terjadi pada tahun 300H.
Aliran al-asy'ari berpendapat bahwa "Jika Allah
menghendaki kebaikan/keburukan, maka hal itu akan terjadi, tetapi Allah
memberikan kebebasan kepada manusia untuk mewujudkan keinginannya walaupun
sia-sia karena aliran ini berpendapat bahwa kekuasaan Allah lah yang berguna".
Setelah wafat al-asy'ari ajaran aliran ini berbeda dengan
pada saat awal didirikannya,mereka mulai memihak golongan rasonalis yang
meninggikan akal,dengan adanya penyimpangan ini maka aliran ini mulai
ditinggalkan.
Pokok ajaran al asy'ariyah awalnya yaitu meninggikan
dalil/nas sebagai penguatnya.
Adapun tokoh-tokohnya sebagai berikut:
a) Abu Hasan bin Ismail al-Asy’ari
b) Al-Baqilani
c) Al-Juwaini
d) Al-Gazali
e) As-Sanusi
2)
Matudiriyah
a.
Sejarah Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah lahir di samarkhand pertengahan kedua
dari abad IX masehi. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn
Mahmud Al-Maturidi. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai
pengikut abu hanifah sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan
paham-paham yang dipegang Abu Hanifah. Sistem pemikiran aliran maturidiyah,
termasuk golongan teologi ahli sunah.
Menurut buku (literatur) yang membahas persoalan
sekte-sekte tidak banyak yang memuat keterangan mengenai aliran
Al-Maturidiyah maupun pengikut-pengikutnya. Karangan Al-Maturidiyah masih
berbentuk mahtutat. Diantaranya kitab Al-Tauhid dan
kitab Ta’wil Al-Qur’an yang belum di cetak, sehingga buku
Maturidiyah sebagai acuan/literature tidak banyak membahas persoalan teologis
seperti halnya ajaran Asy’ariyah maupun mu’tazilah. Ada juga suatu pendapat
yang mengatakan bahwa ada karangan-karangan yang disusun oleh Al-Maturidi,
yaitu risalah fi Al-‘aqaid dan syarh al-Fiqh Al-Akbar.
Sebagai informasi yang menambah kawasan tentang maturidiyah adalah buku yang
dikarang oleh pengikut-pengikutnya, seperti buku Isyarat al-Maram oleh
Al-Bayadi dan Al-Bazdawi dengan bukunya usul Al-din. Untuk mengetahui
sistem pemikiran Al-Maturidi kita tidak bias meninggalkan pemikiran-pemikiran
Asy’ary dan aliran mu’tazilah, sebab ia tidak lepas dari suasana zamannya.
Maturidiyah dan asy’-ariyah sering terjadi persamaan pendapat karena persamaan
lawan yang dihadapinya yaitu mu’tazilah. Namun perbedaan dan persamaannya masih
ada.
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan
rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifah karena Al-Maturidi
sebagai pengikut Abu Hanifah. Dan timbulnya Aliran ini sebagai reaksi terhadap
aliran mu’tazilah.
b. Tokoh
Aliran Maturidiyah
1) Abu Mansur Al-Maturidi
Nama lengkap al-Maturidi ialah Muhammad ibn Muhammad ibn
Mahmud. Tokoh yang dikenal dengan nama Abu Manshur al-maturidi ini dilahirkan
dimaturid, sebuah kota kecil disamarkand, Wilayah Trmsoxiana da Asia Tengah,
daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui
secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia
wafat pada tahun 333 H/944 M, Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama
Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada
masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada tahun 232-274/847-861 M. Karir
pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi
dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi
faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang
dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentik karya tulis, diantaranya
ialah kitab tauhid,ta’wil Al-Qur’an, Makhaz Asy-Syara’I, Al-Jadl,ushul
fi Ushul Ad-Din, Muqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd
Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al Ba’ad
Ar-Rawafid, dan kitab Radd ‘ala Al-Qaramatah, selainitu ada pula
karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah
fi Al-Aqaid danSyarh fiqh Al-Akbar. Ada dua golongan di
dalam aliran maturidiyah, yaitu golongan Samarkand dan
golonganBukhara. Yang menjadi golongan Samarkand ini adalah
pengikut-pengikut Al-maturidi sendiri. Golongan ini cenderung kearah paham
Mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal-soal sifat Tuhan. Maturidi dan Asy-ari
terdapat kesamaan pandangan. Menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat.
Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan pengetahuan-Nya. Begitu
juga tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya.
Mengenai perbuatan-perbuatan manusia, maturidi sependapat
dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham
Qadariyah, maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain dalam soal:
1) Tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
2) Al salah wa Al-aslah
3) Paham posisi menengah kaum Mu’tazilah.
Dengan demikian, lebih lanjut Al-maturidi berpendapat Tuhan
mempunyai kewajiban—kewajiban tertentu. Dan kalam (firman) tidak diciptakan,
tetapi bersifat Qadim. Dosa besar yang dilakukan seseorang menurut maturidi
masih tetap mukmin, ia sepaham dengan Asy-ary. Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwab mereka yang berdosa besar akan ditentukan tuhan kelak di
akhirat.
Maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal Al-waad
wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian juga
masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah
Tuhan, dan sebagainya seperti penggambarab Al-Qur’an, mesti diberi kiasan
(majazi). Dalam hal ini, maturidi bertolak belakang dengan pendapat Asy-ary,
yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk
jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).
Sebenarnya Imam Al-maturidi senang dengan imam ASy’Ari hanya saja Asy Ari di
Bashrah sedangkan maturidi di Samarkand dan Asy ari lebih cenderung mengikuti
imam Syafi’I dan imam Maturidi lebih dekat dengan imam hanafi tapi kedua imam
ini masih di golongkan dalam Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah. Memperhatikan arah
pikiran kedua imam tersebut dalam masalah Fiqih, tidak heran bahwa kedua imam
terdepat perbedaan pendapat dalam beberapa segi, tapi tidak mendasar. Dalam
perkembangan selanjutnya Asy’ari kelihatannya lebih dekat dengan jabariyah
sedangkan maturidi terarah kepada Mu’tazilah.
c. Pokok
pikiran imam maturidi.
Dasar pemikiran/ cara berfikir maturidi sejalan dengan hanafi. Adapun pokok
pikirannya dalam teologi antara lain:
1) Masalah Iman
Imam adalah ikrar dengan lisan dan tashdiq di dalam hati,
serta ikrar itu adalah rukun dari iman itu atau bagian dari iman
2) Qadha dan Qadar dalam hubungannya dengan perbuatan
manusia.
Pada dasarnya menutur maturidi kemauan manusia itu
sebenarnya adalah kemauan Allah, akan tetapi segala perbuatan manusia itu tidak
selamanya sesuai dengan kehendak Tuhan,sebab Dia selalu menghendaki yang baik,
bukan yang tidak baik. Dengan kata lain daya (qudrat) dapat digunakan manusia
untuk berbuat baik atau jahat, sedangkan Allah menghendaki yang baik saja. Jadi
dalam hal ini ada perbedaan dengan pendapat imam Asy’ari dan lebih
cenderung pada pendapat Mu’tazilah.
3) Tentang sifat Tuhan, Maturidi membatasi
permasalahannya, sifat-sifat Tuhan adalah Sifat-Nya
tidak perlu dipermasalahkan
lagi.
Walaupun imam Maturidi masih di golongkan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, akan tetapi bila diteliti lebih mendalam terdapat dugaan yang kuat
bahwa Imam Maturidi ingin mengambil jalan tengah antara pendapat Imam Asy’ari
dengan Mu’tazilah. Dugaan ini dikuatkan bahwa dalam beberapa segi pendapat
maturidi sejalan dengan pendapat Mu’tazilah atau Imam Asy’ari dan sebaliknya
dalam segi lainnya ada yang bertentangan pendapat.
4) Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi
Golongan yang kedua dalam aliran maturidiyah yaitu golongan
Bukhara, golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi.
Dia ini merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik
dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari
orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran-ajaran Maturidi. Kemudian
Al-Bazdawi dalam perkembangan pemikirannya, mempunyai salah seorang murid yaitu
Najm Al-Din Muhammad Al-Nasafi dengan karyanya Al-‘Aqaidul Nasafiyah.
Dengan demikian yang dimaksud golongan Bukhara adalah
pengikut-pengikut Al-Bazdawi didalam aliran Al-Maturidiyah, yang mempunyai
pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-Asy’Ary. Namun walaupun sebagai
aliran maturidiyah, Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan Maturidi.
Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh umat yang bermazhab Hanafi. Dan
pemkiran-pemikiran Maturidiyah sampai sekarang masih hidup dan berkembang di
kalangan umat Islam.
d. Pokok
–Pokok Ajaran Al-Maturidiyah
1. Akal
dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada
Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang
diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al_asy-ari.
Menurut Al-maturidi, mengetahui tuhan dan kewajiban
mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui
kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar
amanusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya
terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk
ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan
tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya.
Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan
mengenai Alllah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat
tersebut.namun akal, menurut Al-maturidi, tidak mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban lainnya. Dalam masalah baik dan buruk Al-maturidi
berpendapat bahwa penentuan baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada Sesutu
itu sendiri, sedngkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak
selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula
mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,
wahyu diperlikan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Almaturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga
macam, yaitu:
1) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebaikan sesuatu itu;
2) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
keburukan sesuatu itu;
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan
sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan
akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila mu’tazilah
mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu
didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban
tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini,
Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau
buruk itu terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena
perintah syara dan dipandang buruk karena larangan syara. Jadi, yang baik itu
baik karena perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada
konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan
Al-Asy’ari.
2.
Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran
ini terpisah menjadi dua, yaitu maturidiyah Samarkand dan maturidiyah Bukhara.
Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan
akal dan pemberian batas terhadap jkekuasaan mutlak Tuhan. Karena menganut
paham Free will dan Free act serta
adanyabatasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum maturidiyah Samarkand mempunyai
posisi yang lebih dekat kepada Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan
yang dberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari pada yang
diberikan aliran Mu’tazilah.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah Samarkand,
dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa degala
perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak
mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan
tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak
sewenang-wenang dalam memberi hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim.
Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya.
Adapun maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan
segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada
larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan
Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun yang lebih
berkuasa daripada-Nya. Dan tidak ada batasan-batasan bsagi-Nya. Tampaknya
aliran Maturidiyah samarkan lebih dekat dengan Asy’ariyah.
Lebih jauh lagi maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa
ketidak adilan tuhan haruslah di pahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak
mutkak Tuhan. Secara jelas Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, TUhan
berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan
untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan
diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
3.
Sifat-Sifat Tuhan
Berkaitan dengan massalah sifat Tuhan, dapat ditemukan
persamaan pemikiran antara Al-Maturidi dan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, basher dan sebagainya. Walaupun
begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari.
Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, malainkan
melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak
dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari Esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan
itu mulazamah (ada bersama, baca:inheren) dzat tanpa terpisah (unnaha lam takun
ain al dzat wa la hiya ghairuhu). Tampaknya paham Al-Maturidi tentang makna
sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaannya, Al-Maturidi
mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya
sifat-sifat Tuhan. Sementara itu Maturidiyah Bukhara, yang juga mempertahankan
kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat.
Persoalan banyak yang kekalmereka selesaikan dengan mengatakan
bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi
Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri; juga dengan
mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat
itu sendiri tidaklah kekal.
Aliran maturidiyah Bukhara berbeda dengan asy’ariyah.
Sebagaimana aliran lain, Maturidiyah Bukhara juga berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil.
Maturudiyah Samarkand sependapat dengan Mu’tazilah dalam
menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi
jasmani ini, Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka,
mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
4.
Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan.
Hal ini diberitakan oleh Al-qur’an, antara lain firman Allah dalam surat
Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan
kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud
walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak sama dengan
keadaan di dunia. Maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy-Ariyah dalam hal
Tuhan dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Maturidi bahwa melihat
Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan
Al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi
tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya. Ayat 103 surat al-an’am yang
dijadikan dalil oleh Al-Maturidi dalam mendukung pendapatnya tentang Tuhan
dapat dilihat dengan mata. Demikian pula maturidiyah Bukhara juga sependapat
dengan Asy-ariyah dan maturidi Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala. Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan kelakmemperlihatkan diri-Nya untuk
kita lihat dengan mata kepala, menurut apa yang ia kehendaki.
5. Kalam
Tuhan
Aliran Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa Al-qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan. Maturidiyah
Bukhara berpendapat, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, kalamullah
(Al-Qur’an) adalah sesuatu yang berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun
dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian, bukanlah
kalamullah secara hakikat, tetapi disebut Al-Qur’an dalam pengertian kiasan
(majaz).
Maturidiyah Samarkand mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
kalamullah yang bersifat kekal dari Tuhan, sifat yang berhubungan dengan dzat
Tuhan dan juga qadim. Kalamullah tidak tersusun dari huruf dan kalimat sebab
huruf dan kalimat itu diciptakan.
Menurut Al-maturidi, mu’tazilah mamandang Al-Qur’an sebagai
yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya
dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan
sifat-Nya dan bukan pula dari dzatNya. Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan
sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal.
Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan
istilah hadis sebagai pengganti Makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
6.
Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam
wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa
atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib
berbuat ash-shalah wa al-ashlah (yang baik dan terbaik bagi
manusia). Setiap perbuatan Tuhan tang bersifat mencipta dan kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Aliran Maturidiyah berpendapat bahwa pada dasarnya yang
menerbitkan perbuatan itu adalah dua qudrah, yaitu qudrah Tuhan dan Qudrah
hamba, tetapi yang menjadikan perbuatan itu adalah Qudrah Allah semata.
“Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada
manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesusi dengan keadilan,
dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan
perbuatannya”.
“Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan
tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya”.
7.
Pengutusan Rasul
Akal selamanya tidak mampu mengetahui kewajiban yang
dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta
kewajiban lainnyadari syariat yang dibeban kepada manusia. Oleh karena itu,
menurut AL-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber
informasi. tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia
telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan
pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ketengah-tengah
umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik
dalam kehidupannya.
8. Pelaku
dosa besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak
kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal
ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia
sesuai dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan untuk orang
yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik
tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu,
perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau
murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan
amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau
mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
Al-maturidi megatakan bahwa yang benar mengenai orang mukmin yang berdosa ialah
menyerahkan persoalan persoalan mereka kepada Allah. Jika Allah menghendaki,
maka dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikan dan rahmatnya, sebaliknya
jika Allah menghendaki, maka dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa
mereka, Namun, mereka tidak akan dikekalkan dalam neraka. Dengan demikian,
orang mukmin berada diantara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum
dosa kecil, sebagaimana dia telah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
Dengan begitu perlu diketahui bahwa golongan atau kelompok
asy’ariyah dan maturidiyah adalah dua kelompok besar madzhab akidah pada eranya
masing-masing dan pada wilayahnya masing-masing, asy’ariyah di bashrah dan
maturidiyah berada di Kazakhstan.
Keduanya memiliki lawan bicara yang sama yaitu mu’tazilah. Semoga
uraian diatas memberi manfaat dan menambah khazanah ilmu kita agar kita tidak
mudah menganggap sesat suatu golongan sebelum mengkaji dan meneliti lebih dalam
lagi; karena kita membaca bukan agar kita sepaham dengan orang yang tulisannya kit
abaca melainkan agar kita lebih cerdas menangkap intisari dari semua yang kit baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar